Berjuang
terus tanpa rasa lelah, berjuang terus melawan rasa taku, berjuang tanpa henti
hingga mati, berjuang hanya untuk merdeka. Keringat, air mata, dan darah adalah
sebuah harga yang harus dibayarkan untuk kemerdekaan. Tidak ada satu
kemerdekaan tanpa penderitaan. semangat persatuan bangsa yang begitu kuatnya
membuat Para penjajah kocar kacir pergi dari ibu pertiwi. Kini kakimu berdiri
di atas kemerdekaan, hidup dengan damai, jangan sekali-kali membuat ibu pertiwi
hancur lagi dengan belenggu penjajah dan jangan lagi membuat ibu pertiwi menangis karena perpecahan bangsa.
68
tahun Negara Kesatuan Republik Indonesia merdeka, selama itu pula Indonesia
merasakan kedamian dan ketentraman tanpa kehadiran penjajah. Bhinneka Tunggal
Ika, bukan hanya “semboyan” semata, akan tetapi memiliki makna yang menjadi
pengikat antar suku di Negara Indonesia. Kayanya Indonesia yang memiliki 1.340
suku bangsa, 546 bahasa daerah, dan 17.504 pulau, membuat Indonesia menjadi
negara kepulauan yang besar. Suku bangsa dari Sabang sampai Merauke adalah satu
Indonesia. Perbedaan tidak menjadikan penghalang bagi Bangsa ini bersatu, akan
tetapi menjadikan perekat bangsa ini, indahnya bangsaku masyarakatnya saling
menghargai dan menghormati satu sama lain, ramah tamah, dan sopan santun budaya
khas Indonesia.
Sila
ke-3 Pancasila yang berbunyi “Persatuan Indonesia”, dapat ditafsirkan beragam
oleh semua orang, sejatinya sila ke-3 tersebut mempunyai makna bahwa
keberagaman di Negeri ini diikat menjadi satu yaitu Indonesia.
Bangsa
Indonesia sebagai bangsa yang merdeka bercita-cita menjadi bangsa yang merdeka,
bersatu, berdaulat, adil, dan makmur sudah selayaknya kita wujudkan. Ada
adagium yang khas di negeri ini “jangan tanyakan apa yang telah negara berikan
padamu, tapi apa yang telah kita berikan pada negara”. Pepatah tersebut berlaku
bagi seluruh rakyat Indonesia, tidak hanya bagi elit politik yang memiliki
“setir” terhadap bangsa ini, tetapi kita sebagai anak bangsa dapat mewujudkan cita-cita
bangsa dengan cara kita sendiri.
Maka
bersedihlah ibu pertiwi apabila bangsa yang kaya dengan Alamnya, budayanya,
bahasanya, suku bangsanya di nodai dengan butir-butir perpecahan antar anak
bangsa. Begitu memalukannya bila para pendiri bangsa melihat kemerdekaan demi
kedamaian yang mereka peroleh dengan perjuangan, “kotor” begitu saja dengan
hadirnya konflik, tawuran, korupsi, kolusi, dan nepotisme yang menggerogoti
bangsa ini sedikit demi sedikit menuju perpecahan dan pada akhirnya kehancuran
yang didapat. Lantas, apakah kita akan tetap berpura-pura menutup mata dan
telinga, dan tak perduli seakan-akan sudah menjadi kebiasaan?.
Di
Indonesia dengan masyarakatnya yang multikultural rentan sekali terjadin konflik
sosial, dari tawuran pelajar hingga bentrokan antar suku, dari korban luka
ringan hingga merenggut nyawa. Salah satu penyebabnya mudah terjadi konflik
yaitu SARA (Suku, Agama, Ras, dan Antar Golongan) di tambah dengan rasa
primodialisme yang memunculkan etnosentrisme dan lunturnya budaya saling
menghargai dan menghormati satu sama lain menjadi pemicu terjadinya perpecahan.
Maraknya
konflik sosial yang terjadi di Indonesia, berdasarkan data Kemendagri. Tercatat
sepanjang tahun 2010 saja mencapai 93 kasus. Dan
menurun ditahun 2011 yaitu menjadi 77 kasus. Dan pada tahun 2012, meningkat
kembali menjadi 89 kasus hingga akhir Agustus 2012. Seperti konflik sosial berlatar belakang
Agama di Ambon (1999-2002), di Poso (1998-2001) dan di Sampang Madura (2012),
kemudian konflik sosial bermotif suku atau etnis di Sampit (2001) yaitu antara
suku Dayak dan Suku Madura sebagai Pendatang serta konflik di Lampung Selatan
(2012) menjadi contoh nyata perpecahan di antara suku bangsa.
Lebih menyedihkan lagi kekerasa
berbentuk konflik tidak saja terjadi antar suku, melainkan terjadi pula di
kalangan pelajar (tawuran pelajar). Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas
PA) mencatat sepanjang tahun 2012 saja terjadi 147 kasus yang menimbulkan
korban jiwa 82 orang. Jumlah ini meningkat dari tahun sebelumnya yang terjadi
128 kasus. Banyak faktor yang melatar belakangi terjadi kekerasan antar pelajar
atau Tawuran, salah satunya kurangnya pengawasan orang tua di rumah dan pihak
sekolah.
Ironis, kata yang “tepat” bila kita
menyimak data diatas. Kekerasan berbentuk konflik telah merasuk ke dalam
elemen-elemen masyarakat, sulit untuk di hindari. Jika kita bersandar pada data
diatas kita dapat mengetahui peran serta Polri sebagai pengamanan masyarakat
longgar. Akan tetapi bila kita bijak menyikapi, tak adil rasanya apabila
terjadinya konflik ini karena pengawasan Polri yang longgar. Banyak faktor yang
menyebabkan terjadi konflik, tidak saja SARA tetapi sekarang sudah menyebar ke
arah sosial, seperti kecemburuan sosial, sengketa tanah, kemiskinan, pendidikan
yang rendah dan lain sebagainya.
Apapun alasan yang melatar belakangi
terjadinya konflik tentu tidak bisa dibenarkan, tidak ada satupun pihak yang
menginginkan terjadinya suatu konflik atau kekerasan terjadi. Konflik hanya
dapat menimbulkan penderitaan yang luas, seperti jatuhnya korban luka ringan
hingga berat, menimbulkan kecacatan, bahkan hingga korban jiwa tidak saja bagi
para pelaku yang terlibat langsung, tetapi juga dapat berdampak pada masyarakat
yang tak terlibat.
Langkah Preventif dan Represif harus
diambil agar konflik tidak tumbuh subur di Bumi Pertiwi.
makasih atas artikelnya, sangat bermanfaat sekali
BalasHapusvisit our website href="https://ittelkom-jkt.ac.id/"
href="http://akademitelkom.ac.id/"