Jumat, 30 Agustus 2013

JANGAN BUAT RETAK WAJAH "IBU" PERTIWI


Berjuang terus tanpa rasa lelah, berjuang terus melawan rasa taku, berjuang tanpa henti hingga mati, berjuang hanya untuk merdeka. Keringat, air mata, dan darah adalah sebuah harga yang harus dibayarkan untuk kemerdekaan. Tidak ada satu kemerdekaan tanpa penderitaan. semangat persatuan bangsa yang begitu kuatnya membuat Para penjajah kocar kacir pergi dari ibu pertiwi. Kini kakimu berdiri di atas kemerdekaan, hidup dengan damai, jangan sekali-kali membuat ibu pertiwi hancur lagi dengan belenggu penjajah dan jangan lagi membuat ibu pertiwi  menangis karena perpecahan bangsa.
68 tahun Negara Kesatuan Republik Indonesia merdeka, selama itu pula Indonesia merasakan kedamian dan ketentraman tanpa kehadiran penjajah. Bhinneka Tunggal Ika, bukan hanya “semboyan” semata, akan tetapi memiliki makna yang menjadi pengikat antar suku di Negara Indonesia. Kayanya Indonesia yang memiliki 1.340 suku bangsa, 546 bahasa daerah, dan 17.504 pulau, membuat Indonesia menjadi negara kepulauan yang besar. Suku bangsa dari Sabang sampai Merauke adalah satu Indonesia. Perbedaan tidak menjadikan penghalang bagi Bangsa ini bersatu, akan tetapi menjadikan perekat bangsa ini, indahnya bangsaku masyarakatnya saling menghargai dan menghormati satu sama lain, ramah tamah, dan sopan santun budaya khas Indonesia.
Sila ke-3 Pancasila yang berbunyi “Persatuan Indonesia”, dapat ditafsirkan beragam oleh semua orang, sejatinya sila ke-3 tersebut mempunyai makna bahwa keberagaman di Negeri ini diikat menjadi satu yaitu Indonesia.
Bangsa Indonesia sebagai bangsa yang merdeka bercita-cita menjadi bangsa yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil, dan makmur sudah selayaknya kita wujudkan. Ada adagium yang khas di negeri ini “jangan tanyakan apa yang telah negara berikan padamu, tapi apa yang telah kita berikan pada negara”. Pepatah tersebut berlaku bagi seluruh rakyat Indonesia, tidak hanya bagi elit politik yang memiliki “setir” terhadap bangsa ini, tetapi kita sebagai anak bangsa dapat mewujudkan cita-cita bangsa dengan cara kita sendiri.
Maka bersedihlah ibu pertiwi apabila bangsa yang kaya dengan Alamnya, budayanya, bahasanya, suku bangsanya di nodai dengan butir-butir perpecahan antar anak bangsa. Begitu memalukannya bila para pendiri bangsa melihat kemerdekaan demi kedamaian yang mereka peroleh dengan perjuangan, “kotor” begitu saja dengan hadirnya konflik, tawuran, korupsi, kolusi, dan nepotisme yang menggerogoti bangsa ini sedikit demi sedikit menuju perpecahan dan pada akhirnya kehancuran yang didapat. Lantas, apakah kita akan tetap berpura-pura menutup mata dan telinga, dan tak perduli seakan-akan sudah menjadi kebiasaan?.
Di Indonesia dengan masyarakatnya yang multikultural rentan sekali terjadin konflik sosial, dari tawuran pelajar hingga bentrokan antar suku, dari korban luka ringan hingga merenggut nyawa. Salah satu penyebabnya mudah terjadi konflik yaitu SARA (Suku, Agama, Ras, dan Antar Golongan) di tambah dengan rasa primodialisme yang memunculkan etnosentrisme dan lunturnya budaya saling menghargai dan menghormati satu sama lain menjadi pemicu  terjadinya perpecahan.
Maraknya konflik sosial yang terjadi di Indonesia, berdasarkan data Kemendagri. Tercatat sepanjang tahun 2010 saja mencapai 93 kasus. Dan menurun ditahun 2011 yaitu menjadi 77 kasus. Dan pada tahun 2012, meningkat kembali menjadi 89 kasus hingga akhir Agustus 2012.  Seperti konflik sosial berlatar belakang Agama di Ambon (1999-2002), di Poso (1998-2001) dan di Sampang Madura (2012), kemudian konflik sosial bermotif suku atau etnis di Sampit (2001) yaitu antara suku Dayak dan Suku Madura sebagai Pendatang serta konflik di Lampung Selatan (2012) menjadi contoh nyata perpecahan di antara suku bangsa.  
Lebih menyedihkan lagi kekerasa berbentuk konflik tidak saja terjadi antar suku, melainkan terjadi pula di kalangan pelajar (tawuran pelajar). Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA) mencatat sepanjang tahun 2012 saja terjadi 147 kasus yang menimbulkan korban jiwa 82 orang. Jumlah ini meningkat dari tahun sebelumnya yang terjadi 128 kasus. Banyak faktor yang melatar belakangi terjadi kekerasan antar pelajar atau Tawuran, salah satunya kurangnya pengawasan orang tua di rumah dan pihak sekolah.
Ironis, kata yang “tepat” bila kita menyimak data diatas. Kekerasan berbentuk konflik telah merasuk ke dalam elemen-elemen masyarakat, sulit untuk di hindari. Jika kita bersandar pada data diatas kita dapat mengetahui peran serta Polri sebagai pengamanan masyarakat longgar. Akan tetapi bila kita bijak menyikapi, tak adil rasanya apabila terjadinya konflik ini karena pengawasan Polri yang longgar. Banyak faktor yang menyebabkan terjadi konflik, tidak saja SARA tetapi sekarang sudah menyebar ke arah sosial, seperti kecemburuan sosial, sengketa tanah, kemiskinan, pendidikan yang rendah dan lain sebagainya.
Apapun alasan yang melatar belakangi terjadinya konflik tentu tidak bisa dibenarkan, tidak ada satupun pihak yang menginginkan terjadinya suatu konflik atau kekerasan terjadi. Konflik hanya dapat menimbulkan penderitaan yang luas, seperti jatuhnya korban luka ringan hingga berat, menimbulkan kecacatan, bahkan hingga korban jiwa tidak saja bagi para pelaku yang terlibat langsung, tetapi juga dapat berdampak pada masyarakat yang tak terlibat.    
Langkah Preventif dan Represif harus diambil agar konflik tidak tumbuh subur di Bumi Pertiwi. 

Sabtu, 16 Februari 2013

Sistem Hukum Anglo Saxon dan Sistem hukum Eropa Kontinental

A.   SISTEM HUKUM ANGLO SAXON
1.1 Pengertian  Sistem Hukum Anglo Saxon
Sistem hukum Anglo Saxon mula – mula berkembang di negara Inggris, dan dikenal dgn istilah Common Law atau Unwriten Law (hukum tidak tertulis). Sistem Anglo-Saxon adalah suatu sistem hukum yang didasarkan pada yurisprudensi, yaitu keputusan-keputusan hakim terdahulu yang kemudian menjadi dasar putusan hakim-hakim selanjutnya. Sistem hukum ini diterapkan di Irlandia, Inggris, Australia, Selandia Baru, Afrika Selatan, Kanada (kecuali Provinsi Quebec) dan Amerika Serikat (walaupun negara bagian Louisiana mempergunakan sistem hukum ini bersamaan dengan sistim hukum Eropa Kontinental Napoleon).

 Selain negara-negara tersebut, beberapa negara lain juga menerapkan sistem hukum Anglo-Saxon campuran, misalnya Pakistan, India dan Nigeria yang menerapkan sebagian besar sistem hukum Anglo-Saxon, namun juga memberlakukan hukum adat dan hukum agama. Sistem hukum anglo saxon, sebenarnya penerapannya lebih mudah terutama pada masyarakat pada negara-negara berkembang karena sesuai dengan perkembangan zaman.Pendapat para ahli dan prakitisi hukum lebih menonjol digunakan oleh hakim, dalam memutus perkara.

1. Sistem hukum anglo saxon pada hakikatnya bersumber pada :
a. Custom
Merupakan sumber hukum tertua, oleh karena ia lahir dari dan berasal dari sebagian hukum Romawi, custom ini tumbuh dan berkembang dari kebiasaan suku anglo saxon yang hidup pada abad pertengahan. Pada abad ke 14 custom law akan melahirkan common law dan kemudian digantikan dengan precedent
b. Legislation
Berarti undang-undang yang dibentuk melalui parlemen. undang-undang yang demikian tersebut disebut dengan statutes. Sebelum abad ke 15, legislation bukanlah merupakan salah satu sumber hukum di Inggris, klarena pada waktu itu undang-undang dikeluarkan oleh raja dan Grand Council (terdiri dari kaum bangsawan terkemuka dan penguasa kota, dan pada sekitar abad ke 14 dilakukan perombakan yang kemudian dikenal dengan parlemen.
c. Case-Law
Sebagai salah satu sumber hukum, khsusnya dinegara Inggris merupakan ciri karakteristik yang paling utama. Seluruh hukum kebiasaan yang berkembang dalam masyarakat tidak melalui parlemen, akan tetapi dilakukan oleh hakim, sehingga dikenal dengan judge made law, setiap putusan hakim merupakan precedent bagi hakim yang akan datang sehingga lahirlah doktrin precedent sampai sekarang
1.2 Sistem Hukum Eropa Kontinental
              Sistem hukum eropa kontinental banyak dianut dan dikembangkan di negara-negara eropa. Sistem hukum eropa kontinental biasa disebut dengan istilah “Civil Law” atau yang disebut juga sebagai “Hukum Romawi”. Sistem hukum ini disebut sebagai hukum romawi karena sistem hukum eropa kontinental memang bersumber dari kodifikasi hukum yang digunakan pada masa kekaisaran romawi  tepatnya pada masa pemerintahan Kaisar Yustinianus yang memerintah romawi pada sekitar abad ke-5 antara 527 sampai dengan 565 M.
Prinsip utama atau prinsip dasar sistem hukum Eropa Kontinental ialah bahwa       hukum itu memperoleh kekuasaan mengikat karena berupa peraturan yang berbentuk undang-undang yang tersusun secara sistematis dalam kodifikasi. Kepastian hukumlah yang menjadi tujuan hukum. Kepastian hukum dapat terwujud apabila segala tingkah laku manusia dalam pergaulan hidup diatur dengan peraturan tertulis, misalnya UU. Dalam sistem hukum ini, terkenal suatu adagium yang berbunyi ”tidak ada hukum selain undang-undang”. Dengan kata lain hukum selalu diidentifikasikan dengan undang-undang.
1.3 Perbedaan Sistem Hukum Anglo Saxon Dan Eropa Kontinenttal
A. perbedaan I
Pembeda
Sistem Hukum Kontinental
Sistem Hukum Anglo Saxon
Sumber
 Hukum
1.      Undang – undang dibentuk oleh legslatif (statutes)
2.      Peraturan – peraturan hukum
3.      Kebiasaan (custom) yang hidup dan diterima sebagai hukum oleh masyarakat
1.      Putusan hakim / putusan pengadilan / yurisprudensi (judicial decisions)
2.      Peraturan hukum tertulis (undang – undang), peraturan administrasi dan kebiasaan
Bentuk
1.      mengenal sistem peradilan administras
2.      menjadi modern karena pengkajian yang dilakukan oleh perguruan tinggi
3.      tidak dibutuhkan lembaga untuk mengoreksi kaidah



1.      hanya mengenal satu peradilan untuk semua jenis perkara
2.      dikembangkan melalui praktek prosedur hukum
3.      dibutuhkan suatu lembaga untuk mengoreksi, yaitu lembaga equaty. Lembaga ibi memberi kemungkinan untuk melakukan elaborasi terhadap kaidah-kaidah yang ada guna mengurangi ketegaran.
Kodifikasi hukum
Dikenal dengan adanya kodifikasi hukum sedangkan pada sistem hukum




Tidak ada kodifikasi
Keputusan hakim
tidak dianggap sebagai kaidah atau sumber hukum sedang pada sistem hukum
keputusan hakim terdahulu terhadap jenis perkara yang sama mutlak harus diikuti.
Pandangan hakim
lebih tidak tekhnis, tidak terisolasi dengan kasus tertentu sedang pada sistem hukum
pandangan hakim lebih teknis dan tertuju pada kasus tertentu.
Kategoris
bangunan hukum, sistem hukum, dan kategorisasi hukum didasarkan pada hukum tentang kewajiban sedang pada sistem hukum
kategorisasi fundamental tidak dikenal.Pada sistem hukum eropa kontinental strukturnya terbuka untuk perubahan sedang pada sistem hukum anglo saxon berlandaskan pada kaidah yang sangat kongrit.
Dasar hukum
Kodifikasi hukum
Yurisprudensi / keputusan hakim
Peran hakim
Tidak bebas menciptakan hukum baru karena hakim hanya berperan menetapkan dan menafsirkan peraturan yang ada berdasarkan wewenang yang ada padanya
Bertugas menafsirakan dan menetapkan peraturan, menciptakan kaidah hukum baru yang mengatur tata kehidupan masyarakat, menciptakan prinsip hukum baru yang berguna sebagai pegangan bagi hakim dalam memutuskan perkara

B.   Perbedaan II
Beberapa perbedaan antara sistem hukum eropa kontinental dengan sistem anglo saxon sebagai berikut :
1.       Sistem hukum eropa kontinental mengenal sistem peradilan administrasi, sedang sistem hukum anglo saxon hanya mengenal satu peradilan untuk semua jenis perkara.
2.      Sistem hukum eropa kontinental menjadi modern karena pengkajian yang dilakukan oleh perguruan tinggi sedangkan sistem hukum anglo saxon dikembangkan melalui praktek prosedur hukum.
3.      Hukum menurut sistem hukum eropa kontinental adalah suatu sollen bulan sein sedang menurut sistem hukum anglo saxon adalah kenyataan yang berlaku dan ditaati oleh masyarakat.
4.      Penemuan kaidah dijadikan pedoman dalam pengambilan keputusan atau penyelesaian sengketa, jadi bersifat konsep atau abstrak menurut sistem hukum eropa kontinental sedang penemuan kaidah secara kongkrit langsung digunakan untuk penyelesaian perkara menurut sistem hukum anglo saxon.
  1. Pada sistem hukum eropa kontinental tidak dibutuhkan lembaga untuk mengoreksi kaidah sedang pada sistem hukum anglo saxon dibutuhkan suatu lembaga untuk mengoreksi, yaitu lembaga equaty. Lembaga ibi memberi kemungkinan untuk melakukan elaborasi terhadap kaidah-kaidah yang ada guna mengurangi ketegaran.
  2. Pada sistem hukum eropa kontinental dikenal dengan adanta kodifikasi hukum sedangkan pada sistem hukum anglo saxon tidak ada kodifikasi.
  3. Keputusan hakim yang lalu (yurisprudensi) pada sistem hukum eropa kontinental tidak dianggap sebagai kaidah atau sumber hukum sedang pada sistem hukum anglo saxon keputusan hakim terdahulu terhadap jenis perkara yang sama mutlak harus diikuti.
  4. Pada sistem hukum eropa kontinental pandangan hakim tentang hukum adalah lebih tidak tekhnis, tidak terisolasi dengan kasus tertentu sedang pada sistem hukum anglo saxon pandangan hakim lebih teknis dan tertuju pada kasus tertentu.
  5. Pada sistem hukum eropa kontinental bangunan hukum, sistem hukum, dan kategorisasi hukum didasarkan pada hukum tentang kewajiban sedang pada sistem hukum anglo saxon kategorisasi fundamental tidak dikenal.Pada sistem hukum eropa kontinental strukturnya terbuka untuk perubahan sedang pada sistem hukum anglo saxon berlandaskan pada kaidah yang sangat kongrit.
Kesimpulan
Sistem hukum Anglo Saxon ialah suatu sistem hukum yang didasarkan pada yurispudensi. Sumber hukum dalam sistem hukum ini ialah putusan hakim/pengadilan. Dalam sistem hukum ini peranan yang diberikan kepada seorang hakim sangat luas.
Sistem yang dianut oleh negara-negara Eropa Kontinental yang didasarkan atas hukum Romawi disebut sebagai sistem Civil law. Sistem Civil Law mempunyai tiga karakteristik, yaitu adanya kodifikasi, hakim tidak terikat kepada preseden sehingga undang-undang menjadi sumber hukum yang terutama, dan sistem peradilan bersifat inkuisitorial. Bentuk-bentuk sumber hukum dalam arti formal dalam sistem hukum Civil Law berupa peraturan perundang-undangan, kebiasaan-kebiasaan, dan yurisprudensi.